Thursday, June 7, 2018
KELOMPOK SAKIT JIWA YANG NGEBET BERKUASA
KELOMPOK SAKIT JIWA YANG NGEBET BERKUASA
Di negeri
ini ada sekelompok orang aneh, kelompok sakit jiwa tapi ngebet
sekali pingin berkuasa. Mereka teriak �Ganti Presiden� tapi
bingung jika ditanya siapa kader mereka yang dicintai rakyat
dan layak jadi presiden. Mereka gemar sebar fitnah, hoax, isu
SARA dan ujaran kebencian tapi justru merasa sedang
menjalankan perintah agama. Mereka mengaku sebagai
pejuang agama tapi perilaku dan tindakannya jauh dari nilai
agama bahkan aksi dan sepak terjangnya justru malah semakin
sukses mempermalukan agama jadi bahan tertawaan. Mereka
mengaku beragama tapi mulut fasih memaki �bangsat, anjing,
babi, halal darahnya�.
Hanya soal kaos �Ganti Presiden� saja
mereka tega mempersekusi ibu dan anak di acara CFD. Tapi
bukannya mengakui, menyesali dan meminta maaf atas insiden
memalukan itu namun mereka justru balik memfitnah bahwa ibu
dan anak itu adalah penyusup yang melakukan akting dan
rekayasa untuk menyudutkan mereka. Mereka suka mendzalimi
tapi justru memutar balik fakta dan gantian teriak merasa
sebagai pihak yang didzalimi.
Bayangkan bagaimana jika
orang-orang licik dengan kwalitas rendahan semacam ini bisa
berkuasa di negeri ini? Pastilah ini bakal jadi bencana dan
kemalangan besar bagi bangsa ini. Jika saat kampanye saja
mereka sekasar, sebarbar dan seprimitif ini maka bagaimana
jika mereka memegang amanah dan tanggung jawab besar
dalam pengelolaan negara dengan anggaran ribuan trilyun?
Pastilah bakal segera hancur nasib negara ini.
Ideologi konflik,
politik identitas, politik kebencian, isu SARA, primordialisme,
radikalisme dan sentimen agama adalah alat utama agar
mereka bisa berkuasa di negeri ini. Tempat ibadah dijadikan
ajang kampanye, propaganda, sarana menghasut massa, ajang
caci maki dan menyebar kebencian. Bagi mereka asal Anda
bisa bertakbir sambil memaki Jokowi, pemerintah dan kyai NU,
Anda sudah akan langsung disebut ulama tanpa harus susah
payah menimba ilmu agama di pondok pesantren selama
puluhan tahun. Instan, cepat dan setengah gila !!
Tidak ada
program, misi visi dan prestasi kerja nyata yang bisa mereka
tawarkan selain hanya politik adu domba, siasat pecah belah
dan penyebaran fitnah dan kebencian saja yang mampu mereka
lakukan. Hanya itu yang mereka bisa lakukan karena
sesungguhnya hanya itulah hal yang mereka punya. Hanya
kebencian yang bisa mereka tunjukkan karena hanya itulah
yang ada dalam hati dan pikiran mereka. Parahnya ajaran
radikal mereka sudah merasuk cukup dalam mulai dari sekolah
TK, SD, SMA, Perguruan Tinggi, BUMN hingga instansi-instansi
negara.
Fungsi oposisi yang mereka jalankan bukanlah oposisi
yang cerdas, berkwalitas, berimbang, profesional dan punya
kontribusi untuk negara melainkan sekedar libido berkuasa dan
hasrat menjegal lawan dengan segala cara. Mereka tidak
pernah berpikir untuk mengabdi dan melayani demi kebaikan
bangsa melainkan hanya ambisi berkuasa bagi kelompoknya
saja. Setiap saat mereka sibuk mencari dan menyebarkan isu,
hoax dan fitnah baru untuk menjatuhkan pemerintahan.
Mereka
teriak isu kebangkitan PKI padahal yang sebenarnya bangkit
adalah kelompok radikal dan sel-sel teroris. Mereka teriak isu
serangan tenaga kerja asing padahal tenaga kerja Indonesia
lebih banyak yang kerja di luar negeri dan disana tidak ada
seruan �serangan tenaga kerja Indonesia�. Mereka teriak soal
hutang luar negeri padahal rasio hutang kita sehat dan memiliki
peringkat bagus sebagai negara tujuan investasi. Mereka teriak
Jokowi anti Islam padahal pemerintah sekedar anti radikalisme
dan kampretisme yang membahayakan kedamaian, kerukunan
dan kesatuan bangsa.
Jokowi tidak pernah korupsi sapi, tidak
pernah culik orang, tidak pernah bakar sekolah dan tidak
pernah bikin chat porno tapi dibenci setengah mati bagaikan
setan saja. Sementara yang korupsi sapi, yang pernah culik
orang dan yang bikin chat mesum justru dibela layaknya orang
suci. Yang bersih, jujur dan mengabdi untuk rakyat malah
dimusuhi sementara yang ga jelas manfaat dan jasanya bagi
negara justru disanjung puji bagai pahlawan.
Mereka seringkali
lebih sok peduli pada bangsa lain daripada terhadap bangsa
sendiri. Mereka ngamuk ketika ada warga Palestina terusir tapi
diam seribu bahasa saat negeri sendiri diguncang teror bom
yang menewaskan banyak orang. Mereka bikin demo membela
pemain sepakbola negara lain yang kebetulan seagama hanya
karena urusan sepele yaitu cedera dalam permainan tapi diam
seribu bahasa saat komunitas Ahmadiyah di negeri ini diserang,
diusir, dirusak, dibakar bahkan dibunuh oleh kelompok mereka.
Saya rasa hanya orang gila saja yang membawa urusan
olahraga ke ranah agama dan politik. Hanya orang sinting saja
yang menganggap satu orang atlet sepak bola luar negeri
sebagai representasi umat Islam sedunia yang harus dibela,
disakralkan dan tidak boleh disenggol sampe cedera padahal
cedera dalam olahraga adalah hal yang wajar dan biasa.
Sungguh memalukan, sampai sekonyol dan segoblok itulah
sikap mereka dalam beragama.
Mereka juga lebih bangga
dengan negara lain tapi justru merendahkan negerinya sendiri.
Mereka menyanjung puji pemimpin negara lain seperti Raja
Arab dan Presiden Turki tapi justru mencaci maki Presiden
sendiri. Padahal jika Jokowi punya kebijakan seperti Raja Arab
dan Presiden Turki pasti sudah ada ribuan dari mereka yang
masuk penjara atau kehilangan kepalanya karena dianggap
melawan negara atau menghina kepala negara.
Anehnya lagi,
mereka demo ketika ada satu warga Palestina yang tewas
dibunuh Israel tapi diam seribu bahasa saat ada 10.000 warga
Yaman yang tewas dibantai militer Arab Saudi. Jika
pembantaian dilakukan oleh sesama orang Islam mereka diam
saja. Mereka sama sekali bukan pembela kemanusiaan
melainkan sekedar budak, kacung atau bahkan zombie yang
memperjuangkan ego dan ambisi kelompoknya saja.
Para tokoh,
ormas dan partai mereka tidak pernah mengutuk aksi terorisme
seakan teroris adalah bagian dari mereka sendiri yang wajib
dilindungi. UU revisi terorisme diganjal dan terkatung-katung
selama 2 tahun di Senayan dan baru disahkan setelah ada
banyak korban tewas akibat ulah barbar para teroris, desakan
masyarakat dan ultimatum dari Presiden yang akan terbitkan
Perppu untuk memberantas terorisme.
Mereka bahkan teriak
HAM bagi para pelaku teror tapi tidak pernah memikirkan HAM
para korban teror dan masyarakat lain yang terancam hak
hidupnya. Wakil Ketua MPR dari partai mereka bahkan usul
pelaku teror ditembak pake peluru bius saja seolah para teroris
itu juga nge-bom nya hanya pake bom bius saja.
Mereka ngamuk
dan bikin demo berjilid-jilid saat ada pejabat publik yang bilang
�jangan mau dibodohin pake......� tapi justru diam dan bahkan
membela saat ada penistaan lebih parah yang dilakukan oleh
kelompok mereka sendiri dengan perkataan �Prabowo titisan
Allah SWT�. �Nabi Muhammad gagal mewujudkan rahmatan lil
alamin� dan �Kitab suci adalah fiksi.� Mereka rame-rame demo
saat ada musisi yang terlibat video porno tapi diam saja saat
ada anak / keponakan majikannya yang terlibat video porno.
Mereka juga diam saja bahkan malah membela soal kasus chat
mesum dan foto porno yang melibatkan junjungannya.
Mereka
sangat mudah mengkafirkan orang lain dan menganggap
mereka yang tak sepaham dengan kelompoknya sebagai sesat,
munafik, halal darahnya dan bakal masup neraka. Mereka
berlagak sok suci dan sok benar sendiri padahal kelakuan,
etika, adab dan sopan santunnya kadang malah di bawah rata-
rata. Menyembah sandal jepit dan ember pecah tapi tidak
membunuh orang lain bagi saya adalah lebih baik daripada yang
mengaku menyembah Tuhan Yang Maha Pengasih tapi malah
tega membunuh sesama manusia.
Mereka bilang Pancasila
haram tapi justru menganggap air pipis onta dan minum air
bekas olahan tinja adalah halal. Mereka bilang demokrasi haram
tapi tidak pernah mengecam aksi penipuan trilyunan duit
puluhan ribu calon jemaah umroh dan gubernur yang korupsi 6
milyar hanya karena pelakunya termasuk bagian dari kelompok
mereka sendiri. Mereka bilang mengucap selamat hari raya
agama lain haram tapi tidak pernah ada kutukan dan fatwa
sesat untuk terorisme seolah terorisme itu halal.
Mereka takut
dengan patung dan simbol agama lain tapi tidak takut dosa
karena bikin hoax dan fitnah. Mereka berfatwa bahwa ngopi di
Starbucks bakal masup neraka. Ada juga yang berfatwa bahwa
yang percaya bumi bulat bakal masup neraka tapi tak ada
satupun ustadz mereka yang berfatwa bahwa pelaku terorisme
yang sudah membunuh banyak orang bakal masup neraka.
Bahkan ustadz mancung sendiri bilang bahwa bisa saja Imam
Samudra yang sudah bunuh 200 orang malah masuk sorga.
Saya rasa hanya orang bodoh saja yang percaya bahwa
membunuh bisa mendapat grand prize sorga. Mirisnya lagi yang
model gini malah banyak pengikutnya.
Mereka bilang Jokowi
kafir tapi justru bilang ISIS yang hobi perkosa, hobi bunuh dan
hobi penggal kepala sebagai sesama saudara yang tidak boleh
dihujat dan dimusuhi. Bahkan teroris Santoso yang pernah
gorok leher seorang petani tua justru dianggap sebagai
pahlawan yang mayatnya tersenyum dan wangi bau sorga.
Parahnya lagi pendukung terorisme semacam ini bisa duduk di
Senayan sebagai wakil rakyat dan pembuat undang-undang.
Jika sudah begini maka Indonesia mungkin akan segera
berubah menjadi Indonistan.
Mereka bikin acara �Peluk Aku� di
CFD agar orang bersimpati pada mereka. Padahal justru
merekalah yang seharusnya bersimpati dan memeluk keluarga
para korban bom teror. Mereka juga bikin film �Power of Love�
untuk mendokumentasikan peristiwa demo yang didalamnya
penuh ujaran kebencian seperti �Bunuh, gantung, bakar,
penggal, salib, penjarakan dll�. Sungguh aneh, mereka tidak
mau menunjukkan rasa simpati, cinta dan kasih sayang terlebih
dahulu tapi menuntut agar dicintai dan disayangi.
Saat aksi
demo di DKI mereka mengajari anak-anak kecil di bawah umur
untuk ikut demo bahkan teriak dan nyanyi �Bunuh, Bunuh�. Tapi
saat ada keluarga religius yang menjadi pelaku teror bom bunuh
diri di Surabaya mereka malah bilang �Teroris tak beragama�.
Mereka selalu menyangkal, berdalih, menyalahkan pihak lain
dan cari alasan dengan mengatakan bahwa aksi teror hanyalah
rekayasa dan pengalihan isu saja tanpa memikirkan bagaimana
perasaan keluarga para korban teror. Lebih parah lagi mereka
selalu cuci tangan dan mencari kambing hitam bahwa ini adalah
konspirasi polisi, aparat, pemerintah hingga Amerika,
Freemason, Illuminati, Aliens, agen CIA, agen Zionis hingga
agen togel dan agen elpiji segala.
Mereka nyinyir soal anggaran
tim BPIP sebesar 6 milyar tapi diam saja dengan anggaran
TGUPP sebesar 28 milyar. Padahal tim BPIP memiliki amanat
dan tanggung jawab besar untuk seluruh negara dalam
mengawal Pancasila dan terdiri dari tokoh-tokoh kompeten
seperti mantan Presiden, mantan Wapres, pemimpin ormas
agama terbesar (NU), ketua majelis ulama dll. Sementara tim
TGUPP hanya bertugas untuk satu wilayah DKI saja dan itupun
terdiri dari orang-orang yang ga jelas dan ga jelas pula kerja,
tugas dan manfaatnya selain hanya jadi penggembira dan tim
hore saja.
Pejabat publik yang kompeten, profesional, jujur,
bersih dan anti korupsi dibenci dan dijatuhkan hanya karena
alasan beda agama. Sementara yang ga becus kerja dan suka
bagi-bagi jatah duit rakyat buat kelompoknya tetap dibela hanya
karena dianggap seiman. Tapi yang bersih, jujur, anti korupsi
dan seiman seperti Jokowipun akan tetap dibenci, dimusuhi dan
berusaha dijatuhkan hanya karena tidak sepaham dengan
mereka dan tidak mendukung agenda besar mereka untuk
mengubah dasar negara dan menjadikan NKRI sebagai Negara
Agama.
Sungguh lucu, konyol, menggelikan sekaligus
menyedihkan saat kita melihat ada sekumpulan orang sakit jiwa
yang ngebet berkuasa dengan menghalalkan segala cara.
Mereka merasa paling benar dan paling suci dengan menafikan
pihak lain. Apapun akan dilakukan hanya agar kelompoknya
bisa berkuasa meskipun itu harus menjual martabat dan
kehormatan dirinya. Jangankan kehormatan dirinya, bahkan
martabat bangsa, Tuhan dan agamapun juga siap mereka jual
dan gadaikan.
Bagi mereka �politik identitas & politik
kebencian� adalah komoditas yang harus bisa mereka
manfaatkan sebesar-besarnya demi tujuan & kepentingan
mereka. Mereka bersembunyi dibalik logika absurd boleh
�membenci karena Tuhan� seolah Tuhan adalah Maha
Pembenci yang memerintahkan mereka untuk juga menjadi
kaum pembenci. Ideologi kebencian yang sudah
meluluhlantakkan banyak negara di Timur Tengah ini ingin
dibawa kesini untuk menghancurkan negeri ini. Dan mereka
akan terus membenci sampe grup band Metallica bikin album
religi.
Mabok dogma memang bisa bikin orang kehilangan akal
sehat dan hati nuraninya. Bahaya dari racun ideologi
Kampretisme yang berkembang di masyarakat saat ini bisa
membuat kita kehilangan nalar, jati diri dan sifat kemanusiaan
kita. Bangsa ini bakal hancur, pecah, terpuruk dan ngesot
mundur ke belakang jika para Kampreters ini berkuasa. Jika
silent majority yang waras diam saja menyaksikan semua
kekonyolan ini maka akan lebih cepat lagi bangsa ini runtuh dan
kembali ke pola pikir dan peradaban ala abad pertengahan.
Mereka tidak mau mengakui kinerja bagus Presiden dalam
membangun infrastruktur tapi malah mengklaim hasil kerja
tersebut sebagai prestasi dari tokoh kelompok mereka yang
sebenarnya ga kerja apa-apa. Jokowi yang kerja tapi mereka
berterima kasihnya sama Aher. Ahok yang kerja tapi mereka
klaim sebagai prestasi Anies. Jokowi yang sibuk kerja
pontang-panting siang malam demi kesejahteraan negara tapi
mereka justru mengidolakan Erdogan presiden Turki yang ga
ada jasa dan hubungannya sama sekali dengan mereka.
Mereka
teriak anti aseng tapi sebar proposal ngemis duit THR pada
para pengusaha. Saat ketahuan, mereka jadi malu dan bilang
itu cuma buat lucu-lucuan. Padahal kenyataannya di lapangan
jika hal itu tidak dipenuhi maka biasanya akan muncul
perusakan, ancaman dan intimidasi. Mereka teriak anti kapir
tapi tidak malu terima gaji dan THR dari boss dan majikannya
yang katanya kapir.
Mereka teriak anti kapir tapi tidak malu
sehari-hari pake produk hasil ilmu pengetahuan dan tehnologi
bangsa kapir. Hampir semua tehnologi dan fasilitas yang kita
gunakan saat ini (seperti telepon, internet, mobil, motor,
televisi, listrik dll) adalah jasa, sumbangsih, ide dan karya dari
bangsa kapir. Jadi nikmat kapir manakah yang mereka
dustakan?
Mereka getol teriak �Ganti Presiden� tapi tidak malu
mudik lewat jalan tol yang dibangun oleh Presiden. Tapi karena
bukan Presiden Turki maka semua jasa dan jerih payah ini tidak
bakalan mereka akui. Ini bukan saja tidak tahu malu, tidak tahu
diri, tidak tahu bersyukur, tidak tahu balas budi dan tidak tahu
terima kasih tapi memang sudah sakit jiwa akut sejak dari
sononya. Sakit jiwa yang diridloi Tuhan katanya. Tuhan kok
paranoid, begitu jawaban saya....
Salam Waras nan Tak Kunjung
Datang
#2019 Ganti Otak Kampret
copas dr FB
Wednesday, June 6, 2018
Inilah sikap Gereja terhadap Saksi Yehuwa
Di kalangan Gereja-gereja sendiri ada anggapan bahwa ada kelompok tertentu di negeri ini, walaupun mengaku sebagai bagian dari umat Kristen, patut dilarang kehadirannya, sebab beberapa dari kelompok tersebut memiliki pengajaran yang tidak sesuai dengan Kekristenan. Salah satu kelompok tersebut yang kini menjadi perhatian adalah Saksi-Saksi Yehova (SSY).
Menanggapi hal itu, pada Kamis (05/01) di Ruang Sidang Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Salemba 10, Jakarta 10, diadakan Diskusi Awal Tahun 2012.
Seperti dirilis pada situs resmi PGI, Acara Diskusi Awal Tahun 2012 ini dihadiri oleh kalangan akademik dan teolog, ANBTI dan Sinode GKI. Diskusi ini membahas perkembangan situasi bangsa Indonesia yang menyangkut kebebasan beribadah, kasus kekerasan yang semakin marak dan mengenai Saksi-Saksi Yehuwa (SSY) yang bernama resmi Saksi-saksi Yehuwa di Indonesia (SSYI).
Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang melalui makalahnya yang berjudul �Gereja dan Kebebasan Beragama di Indonesia� menuangkan beberapa poin penting terkait SSY yang disampaikannya kepada forum.
Ia mengatakan walaupun konstitusi negara menjamin hak dan kebebasan setiap orang atau tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya serta dalam menjalankan hak dan kebebasannya, warga negara tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan undang-undang termasuk juga SSY.
�Berdasarkan UUD itu kita bisa menyoroti realitas beragama di negara kita ini, apakah hak dan kebebasan itu sudah ditegakkan, atau yang lebih ditekankan justru adalah pembatasannya� tulisnya.
Sikap Gereja kepada Saksi Yehuwa
Walau tidak dihadiri perwakilan SSY yang telah diundang sejak 21 Desember 2011 lalu. Diskusi tersebut mendapat enam hal penting yang dirangkum sebagai catatan kepada Gereja-gereja dan PGI dalam menyikapi SSY; diantaranya.
Pertama, Gereja-gereja maupun PGI tidak berhak membubarkan SSYI, seandainya pun sebagian besar ajarannya sangat berbeda dari ajaran Gereja-gereja yang sudah lebih dulu ada. Sehingga Gereja-gereja maupun PGI juga tidak pada tempatnya meminta pemerintah untuk membubarkan SSYI, kecuali kalau SSYI nyata-nyata melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.
Sedang terkait kunjungan mereka ke rumah-rumah, bila itu dilakukan dengan sopan dan tidak memaksa, dan selama penghuni rumah tidak menyatakan diri terganggu lalu mengadukan mereka ke polisi, maka tindakan mereka itu tidak dapat dikategorikan sebagai penyebab keresahan.
Kedua, walaupun Gereja-gereja menilai bahwa sebagian besar ajaran SSYI berbeda atau bertentangan dengan ajaran dan keyakinan Gereja-gereja di Indonesia, mereka itu tidak bisa begitu saja dicap sebagai bidat atau pengajar sesat, sebab bisa saja tuduhan yang sama dialamatkan penganut agama lain kepada Gereja-gereja.
Dan perbedaan ajaran itu juga tidak boleh menjadi alasan atau dasar pertimbangan bagi pemerintah untuk melarang SSYI ataupun komunitas religius lainnya. Sebagai gereja kita tidak setuju atas tindakan pemerintah sekarang ini terhadap Jemaah Ahmadiyah; karena itu sikap yang sama juga perlu kita perlihatkan sehubungan dengan keberadaan SSYI.
Ketiga, bila Gereja-gereja menilai bahwa ajaran SSY bertentangan dengan ajarannya dan berbahaya bagi iman warganya, yang harus dilakukan oleh Gereja-gereja adalah mendidik, membina sekaligus membentengi iman warganya dengan memberikan pembekalan yang intensif, tak kalah intensifnya dari SSY, agar warga gereja tidak terpengaruh oleh beranekaragam ajaran yang berbeda dari ajaran resmi Gereja.
SSY hanyalah satu di antara sekian banyak aliran atau ajaran yang berbeda dari ajaran Gereja; tidak mungkin Gereja melarang semua itu, atau meminta pemerintah melarangnya. Tidak baik bila Gereja meminjam tangan atau kuasa pemerintah untuk membasmi ajaran tertentu. Sebab bisa saja pihak lain meminjam tangan pemerintah untuk melarang gereja, seperti yang terlihat dalam kasus GKI Taman Yasmin, hal yang pasti tidak disetujui Gereja-gereja.
Keempat, sebelum kita menyatakan SSY ataupun ajaran lain menyimpang atau sesat, sebaiknya kita mendalami ajaran mereka dari sumber primer, yaitu tulisan-tulisan yang mereka hasilkan sendiri.
Kiranya kita tidak menilai SSY atau siapa pun berdasarkan sumber-sumber sekunder, tertier, dst. Banyak literatur yang berisi kecaman dan tuduhan kepada SSY, termasuk dalam bahasa Indonesia, yang tidak didasar-kan pada sumber resmi, sehingga pihak SSY dengan mudah akan menyanggahnya.
Kelima, kita mengundang dan terus melakukan pendekatan dan menyampaikan ajakan kepada SSYI agar ambil bagian dalam pertemuan-pertemuan antar organisasi keagamaan, sehingga mereka tidak memencilkan diri atau merasa dipencilkan dari pergaulan antar sesama umat beragama.
Harus diakui, selama ini tidak mudah mengajak dan menghadirkan mereka dalam pertemuan seperti itu; mereka mengemukakan macam-macam alasan untuk menolak. Kita ingatkan mereka bahwa kehadiran mereka justru untuk kebaikan mereka, untuk menepis atau mengurangi prasangka dan penilaian negatif atas mereka.
Keenam, kita mengingatkan mereka agar tidak melakukan kegiatan yang bisa mengundang reaksi atau tuduhan bahwa mereka menimbulkan gangguan atau keresahan. Kalau mereka berkunjung ke rumah kita atau warga Gereja kita, kita ingatkan agar mereka tidak memberkesan membujuk ataupun memaksa, karena datang berkali-kali. Kita ingatkan juga agar mereka tidak menyampaikan ajaran SSY sambil menyalahkan ajaran gereja atau agama lain.
Mengenai Trinitas, misalnya; SSY boleh saja menyatakan bahwa mereka tidak menganut ajaran itu, tetapi kita ingatkan mereka agar tidak menyatakan ajaran gereja lain adalah keliru, sebab setiap ajaran memiliki landasan teologis masing-masing. Kalau setelah kita ingatkan, mereka masih terus melakukan hal itu, maka kita boleh mengadukan mereka kepada yang berwajib, dengan menyampaikan bukti-bukti konkret dari tindakan mereka.
SSY ke Indonesia
Sejak awal, berbagai ajaran dan praktik dari Saksi-Saksi Yehova (SSY) yang juga menggunakan nama lain, yaitu Persekutuan Menara Pengawal (PMP) dan Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab (PSSA) � sudah mengundang kontroversi dari Gereja-gereja arus utama (Lutheran, Calvinis, Anglican, Methodist, Baptis), bahkan dari aliran awal SSY sendiri, yakni Gereja Adventis.
Menurut sumber yang diterbitkan SSY sendiri, misionaris pertama SSY ke Indonesia, yaitu Frank Rice dari Australia, telah tiba di Batavia Juni 1931. Orang Indonesia pertama yang menjadi warga sekaligus aktivisnya adalah Theodorus Ratu, yang bekerja di Jawa, Sumatera dan Sulawesi Utara sejak 1933 (kendati baru dibaptis di Singapore tahun 1936). Pada tahun 1964 anggotanya sudah 4000-an dan tahun 1975 menjadi 11.000-an.
Karena mendapat pengaduan dari masyarakat, baik yang beragama Kristen maupun yang beragama lain, dan juga penilaian negatif dari beberapa instansi pemerintah (a.l. SSY menimbulkan keresahan dan gangguan, karena SSY rajin berkunjung ke rumah-rumah), Jaksa Agung melalui SK tertanggal 7 Desember 1976 secara resmi melarang aliran ini berkiprah di negeri ini. Tetapi mereka tidak menghentikan kegiatan, melainkan melan-jutkannya, dengan memakai nama lain yang sudah disebut di atas (PMP dasn PSSA).
Pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), atas nama demokrasi, HAM, dan kebebasan beragama/berkeyakinan, melalui SK Jaksa Agung tertanggal 1 Juni 2001 SSY diizinkan kembali untuk berkiprah secara resmi. Di dalam SK itu a.l. dinyatakan: �Kepada Ajaran/Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab/Saksi Yehova diperbolehkan hidup beraktivitas berdampingan bersama ajaran/aliran keagamaan lainnya yang ada di Indonesia; kecuali apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Surat Keputusan ini akan ditinjau kembali.�
SK ini menimpulkan kehebohan dan pro-kontra, terutama di kalangan gereja-gereja di Indonesia. Sebagian besar Gereja-gereja itu selama ini mencap SSY sebagai aliran/ajaran sesat, sehingga mereka meminta agar pemerintah meninjau kembali (alias mencabut) SK tersebut. PGI juga diminta untuk ikut memperjuangkan pelarangan SSY.
Dalam kenyataan-nya Saksi-saksi Yehuwa di Indonesia (SSYI) tetap eksis, bahkan semakin berkembang. Balai Kerajaannya (demikian nama tempat ibadah dan kegiatannya) didirikan di mana-mana (di Jakarta saja sekitar 10 buah, a.l. di Gunung Sahari IV/2, dekat GKI Gunsa) dan Kantor Pusatnya beralamat Jalan Kelinci Raya no. 36 Jakarta Pusat 10710, telp. 3811918. (PGI/TimPPGI)